Sebagai warga yang lahir di Delanggu, Klaten, Jawa Tengah, hati terasa sedih, saat mudik Lebaran 2025, melihat hamparan sawah yang dulu subur, kini dibiarkan mengering, tidak ditanami padi.
Padahal tahun 1960-1970-an, ketika saya masih kecil persawahan di wilayah Kecamatan Delanggu terkenal dengan kesuburannya. Irigasi lancar. Pada musim apapun, baik kemarau maupun penghujan, tetap bisa ditanami padi.
Dengan kesuburan tanahnya dan irigasinya yang bagus, maka Delanggu terkenal dengan produksi berasnya. Bahkan Delanggu terkenal dengan julukan Kota Beras. Sampai sekarang beras Delanggu masih menjadi daya tarik para pedagang beras di kota-kota besar di Indonesia.
Namun dengan kondisi lahan sekarang, setidaknya yang saya lihat dengan mata kepala sendiri di wilayah Desa Krecek, Desa Mendak, dan desa-desa di sisi barat wilayah Kecamatan Delanggu, muncul kekhawatiran bisa jadi kelak beras Delanggu akan tinggal kenangan.
Lahan-lahan persawahan di sepanjang jalan Delanggu-Cokrotulung, kini dibiarkan mengering. Lahan yang dulu hijau, subur, dan menyejukkan mata, kini gersang, panas, dan menyilaukan mata. Ada sejumlah bangunan yang terbangun di daerah persawahan subur, seperti perumahan, pabrik, dan warung-warung makan.
Area persawahan yang terkenal dengan produksi berasnya itu kini terbelah oleh Jalan Tol yang menghubungkan Kota Solo dan Yogyakarta. Beton-beton, tiang pancang, dan bangunan Jalan Tol menjadi salah satu penyebab, irigasi atau suplai air yang mengairi persawahan di Delanggu menjadi tersendat.
Sawah-sawah atau area tanaman padi di Delanggu selama ini mengandalkan suplai air dari sejumlah mata air di Cokrotulung dan sekitarnya. Beberapa sumber air itu berada di sisi barat wilayah Kecamatan Delanggu. Kini aliran air dari barat ke timur itu tersendat karena adanya beton-beton bangunan Jalan Tol.
Faktor lain, pendirian pabrik di area persawahan, lahan hijau, yang diijinkan oleh aparat yang diberi kewenangan untuk mengurus perijinan, membuat para petani semakin terjepit. Jika sudah seperti ini, masyarakat kecil, khususnya petani yang biasanya menjadi tumbal.
Sebagai orang desa yang tidak memiliki kewenangan menangani perijinan, tidak memiliki akses untuk membuat kebijakan, dan tidak punya pengaruh ke pusat pemerintahan, saya hanya bisa ngelus dada, melihat tanah persawahan yang dulu subur, kini dibiarkan mengering, gersang, dan tidak produktif.
Semoga orang-orang yang diberi kewenangan membuat kebijakan, khususnya terkait dengan program swasembada pangan di Klaten, segera upayakan kembali wilayah Delanggu sebagai penghasil beras di Jawa Tengah. Jangan sampai beras Delanggu hanya tinggal kenangan. (Ono)
Artikel Beras Delanggu Tinggal Kenangan? pertama kali tampil pada Wiradesa.co.