DUA footage video pada latar waktu dan tempat yang tak jauh berbeda diputar dalam durasi 43 menit. Video tersebut diputar di Indonesian Visual Art Archive (IVAA) pada Kamis (15/8/2024) dengan judul film “Lyric Vengeance (Of Girls)”, karya seorang seniman keturunan Belanda, Wendelin Van Oldenborgh.
Wendelin memilih latar tempat Yokohama dan Tokyo untuk menghubungkan sejarah arsitektur Jepang dengan gerakan perempuan kontemporer jepang pada masa politik kolonial Jepang. Para pemeran dalam film itu berusaha menguliti karya sastra Fumiko Hayashi dan Yuriko Miyamoto yang membahas feminisme dengan cara pandang berbeda, namun saling berkesinambungan pada masa itu.
Melalui film ini, Wendelin mencoba membantu penonton melihat sejarah kolonialisme dari sisi yang berbeda dengan metode jukstaposisi, yakni dengan menggabungkan beberapa hal yang sebenarnya tidak seperti punya hubungan satu sama lain namun dapat dihubungkan. Dengan metode tersebut Wendelin berusaha menggabungkan tiga sudut pandang negara yang berbeda, yakni Jepang, Belanda, dan Indonesia. Sebab ketiga negara ini punya ikatan dalam satu periode sejarah kolonialisme yang sama. Hasilnya, sudut pandang masing-masing negara yang terhubung dapat membentuk perspektif sejarah baru.
Untuk melihat sudut pandang sejarah dari masing-masing negara, para pemeran film tidak hanya mendikusikan karya sastra penulis perempuan ternama Jepang, tetapi juga membahas karya sastra penulis perempuan Belanda dan Indonesia. Kedua sastrawan yang karyanya diurai tersebut adalah Beb Vuyk dan Suwaesih Djojopuspito. Ketika buku-buku sastra/sejarah dalam terjemahan bahasa Inggris ini diulas, terdapat beberapa konteks informasi yang tidak akurat diterjemahkan sesuai konteks bahasa aslinya. Hal ini pun menjadi keresahan para tokoh ketika mengulas karya terjemahan.
Para pemeran pun berdialog untuk memecahkan makna bahasa dengan tepat sesuai konteks sejarah demi kata per kata dalam tiap karya sastra yang dibahas. Ketika hal ini dilakukan, terdapat makna lain yang dapat diungkap untuk memahami kesadaran kelas sosial dan feminisme yang berusaha dipaparkan oleh para penulis. Bahwa tiga penulis perempuan ini resistensi menentang dominasi politik patriarkal dan nasionalis.
Namun, apakah jukstaposisi ini adalah alat narasi terbaik yang dapat digunakan untuk menghadirkan sudut pandang baru dalam melihat sejarah yang ada?. Wendelin pun berusaha menjawab pertanyaan itu dengan memposisikan film yang dibuatnya ini sebagai karya seni.
“I’m always curious what happen if i do this, in often times it also interesting because sometimes it happens when you’re outsider, you’re somewhere else on your own context. And also because i’m naive to push and fight, to make a spark (Saya selalu penasaran apa yang terjadi jika saya melakukan ini [menggunakan jukstaposisi], sering kali hal ini juga menarik karena terkadang hal ini terjadi ketika kita menjadi orang asing, yang mana kita ada di tempat lain dalam konteks kita sendiri. Dan juga karena saya naif untuk mendorong dan melawan, untuk membuat percikan)” jelas Wendelin. (Asy Syifa Salsabila)
Artikel Jukstaposisi Sejarah Kolonial Tiga Negara dalam “Lyric Vengeance” pertama kali tampil pada Wiradesa.co.