KETERSEDIAAN homestay menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi bagi sebuah desa wisata. Homestay didefinisikan sebagai bangunan rumah yang ditinggali oleh pemilik tetapi disewakan atau berbayar untuk menginap tamu atau wisatawan.
Ruh sebuah homestay yakni para tamu yang menginap berkesempatan berinteraksi dengan pemilik. Hal itu disampaikan Jatmiko dari PT CBT saat mengisi Workshop Pengelolaan Homestay Desa yang diselenggarakan Komunitas Wisata Hijau Lestari (KWHL) di Joglo Padepokan Kilen Lepen, Karangwetan Salamrejo Sentolo, Kulonprogo, Sabtu 27 Juli 2024.
Bangunan homestay tak harus bernuansa etnik seperti joglo atau limasan, bisa pula bangunan modern dan semi modern. Yang paling esensial homestay adalah bangunan rumah tempat menginap para tamu atau wisatawan, tinggal bersama pemilik rumah. Homestay berada di lokasi desa wisata. Dikelola desa wisata atau pribadi yang mengelola dan ada lembaga desa wisata yang mengatur.
“Soal harga atau tarif menginap disesuaikan dengan fasilitas dan kondisi bangunan,” kata Jatmiko di depan 25 peserta workshop dari para pengurus dan anggota Pokdarwis, desa wisata serta para pelaku wisata desa di Kulonprogo.
Wisatawan yang menginap di homestay dan berinteraksi dengan pemilik rumah bisa sekaligus menikmati ragam kearifan lokal berbasis budaya. Agar interaksi terjalin akrab satu rumah yang dijadikan homestay dibatasi maksimal hanya dapat menyewakan lima ruang kamar.
“Satu rumah maksimal lima kamar yang bisa disewakan sebagai kamar homestay. Lebih dari lima tidak mudah dalam mengelola. Sulit dalam menjalin interaksi,” imbuh Jatmiko sebab para pemilik homestay termasuk kategori bukan profesional dalam mengelola. Dengan hanya dibatasi maksimal lima kamar sudah tentu pelayanan akan lebih maksimal.
Segmen homestay yang menjual keunikan, lanjutnya, memungkinkan saja punya pasar khusus. Misalnya berlantai tanah, tanpa lampu, dinding gedek bambu sederhana. Konsumen homestay kategori unik biasanya rela membayar demi ‘membeli’ pengalaman. Lebih dari itu, secara umum terdapat beberapa hal yang tak boleh diabaikan dalam mengelola homestay.
Di antaranya, mengupayakan ketersediaan kasur yang berkualitas baik agar kualitas tidur baik sehingga para tamu tatkala bangun tidur badan terasa enak, fresh. Kasur merupakan layanan dasar. Dipan boleh biasa tapi sebaiknya pemilik homestay berinvestasi kasur bagus.
“Usahakan jangan kasur kapuk apalagi tebal cuma tiga centimeter. Sediakan sprei, bantal, guling, selimut. Tak harus pakai AC atau kipas angin. Kalau tambah kipas angin letaknya yang pas,” terangnya.
Para pemilik homestay idealnya mempunyai selimut, bantal, sarung bantal dan sprei paling tidak tiga set. Jadi kalau mendadak ada yang kotor bisa lekas diganti. Tak kalah penting pintu kamar harus terpasang kunci tak cukup ditutup kain gorden demi menjaga privasi dan keamanan barang bawaan tamu. Lampu penerangan pun tak boleh diabaikan, usahakan tak terlalu gelap dan tak terlalu terang. Idealnya memakai dua lampu. Lampu dengan nyala terang satunya lagi lampu dengan nyala redup.
“Untuk kamar mandi tak harus kamar mandi dalam bisa memakai kamar mandi komunal. Lampu kamar mandi cukup penerangan. Saklar on off letaknya mudah dijangkau. Fasilitas dasar lainnya seperti perlengkapan ibadah. Sarung mukena,” imbuh Jatmiko.
Jatmiko menuturkan, hal lain yang harus mendapat perhatian yaitu standar kamar mandi. Ada yang bilang kondisi kamar mandi menunjukkan peradaban. Kamar mandi harus selalu bersih tak boleh kotor. Menjaga kamar mandi tetap bersih terkadang merepotkan namun kebersihan kamar mandi amat vital. Variabel yang jadi perhatian bersih dan rapi. “Jangan ada pakaian tuan rumah digantung di kamar mandi,” gurau Jatmiko.
Perihal ukuran kamar mandi patokannya ketika ruang kamar mandi dipakai tak sempit, buat keluar masuk enak. Ukuran ruang longgar dan nyaman, tersedia gantungan baju. Tak harus memakai kloset duduk. Air bersih tersedia cukup dan jangan sampai kehabisan air. Sumber air bersih bisa dari air sumur, bisa pula air PDAM.
Melayani tamu homestay, aktivitas harian pemilik rumah bagian dari atraksi wisata. Ketika memasak, menyapu di pagi hari sampai pergi ke pasar. Pemilik homestay masih bisa create atraksi di luar kegiatan harian misalnya ngomong sejarah desa wisata.
“Menyuguhkan atraksi kegiatan harian, pemilik homestay tak perlu belajar. Sedangkan bercerita sejarah desa wisata harus bisa ngomong. Cerita bisa menambah pengetahuan baru bagi tamu. Bisa pula membikin paket lain mengajak belanja ke pasar, masak lalu makan bareng, kolaborasi dengan pemilik UMKM. Makin banyak atraksi memungkinkan tamu makin lama tinggal,” jelasnya.
Pada sesi pertama workshop yang didukung PT Pupuk Kaltim itu, Jatmiko bisa membawa para peserta merasa ingin tahu dan banyak bertanya bagaimana perihal standar dan ukuran fasilitas sebuah kamar homestay, cara menentukan tarif atau harga sewa kamar hingga bagaimana cara menolak tamu nonpasutri. Hadir dua narasumber lain Ciptaningtias dari Desa Wisata Pentingsari Sleman dan Yitno Purwoko dari STIEPAR API Yogyakarta. (Sukron)
Artikel Interaksi Akrab Tamu dan Pemilik Rumah, Ruh Sebuah Homestay pertama kali tampil pada Wiradesa.co.