Sebanyak tujuh dari 47 Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dilaporkan mengalami kerugian serius dan memerlukan langkah pembenahan dalam beberapa tahun ke depan. Ketujuh perusahaan tersebut adalah Krakatau Steel, Bio Farma, Wijaya Karya, Waskita Karya, Jiwasraya, Perumnas, dan Perum Percetakan Negara Republik Indonesia.
Terkait kerugian 7 perusahaan BUMN tersebut, Dosen Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Eddy Junarsin, Ph.D, CFP., memberikan pandangannya bahwa perusahaan sebagai badan usaha milik negara, idealnya harus dapat mandiri dan menghasilkan profit untuk negara. Namun, kerugian yang dialami oleh tujuh BUMN ini memunculkan pertanyaan tentang status mereka sebagai badan usaha. “Kalau memang badan usaha itu tujuannya untuk melayani publik, maka mungkin seharusnya tidak menjadi badan usaha,” ungkap Eddy, Selasa (19/11).
Eddy memberi contoh BUMN yang seharusnya menjadi lembaga pelayan publik, alih-alih badan usaha adalah Perumnas dan Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI). Eddy menilai diperlukan upaya restrukturisasi untuk menekan kerugian yang dialami ketujuh perusahaan BUMN tersebut. Menurutnya, pengelompokkan ulang melalui pembentukan holding company di masing-masing sektor yang relevan dapat meningkatkan efisiensi dan mengurangi beban biaya operasional. “Mungkin dikelompokkan ulang. Jadi, seperti holding company untuk masing-masing sektor yang relevan sehingga lebih efisien,” kata Eddy.
Dikatakan Eddy, jika suatu BUMN tidak dapat survive secara mandiri, maka badan usaha tersebut perlu dilebur atau bergabung dengan holding company yang akan dibentuk. Penggabungan badan usaha ini tidak lain bertujuan untuk mengefisiensikan biaya operasional perusahaan. “Saya kira solusinya itu merampingkan biaya operasional atau meningkatkan pendapatan,” kata Eddy.
Namun, peningkatan pendapatan belum tentu sesuai hasil yang diharapkan. Hal ini membuat Eddy merasa penyesuaian kembali efisiensi dari biaya operasional lebih memungkinkan untuk dilakukan. “Kalau itu memang tidak dapat diperbaiki, berarti kan perlu direstrukturisasi. Itu memang sesuatu yang perlu kita lakukan dalam bisnis,” ungkap Eddy.
Rencana Menteri BUMN untuk memangkas jumlah perusahaan pelat merah dari 47 menjadi 30 dianggap oleh Eddy sebagai langkah yang patut dicoba. Ia menilai langkah ini bisa membawa dampak positif dalam jangka panjang, terutama jika penggabungan perusahaan di bawah holding company dilakukan secara tepat. Kendati demikian, ia juga menekankan pentingnya analisis mendalam terkait efektivitas kebijakan tersebut. “Itu sebenarnya patut dianalisis dan dicoba, tapi apakah itu akan berhasil atau tidak, kita tidak bisa menjawab,” pungkasnya.
Permasalahan yang dihadapi oleh tujuh perusahaan BUMN ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah untuk memastikan keberlangsungan operasional perusahaan negara. Efisiensi biaya, pengelompokan ulang, hingga perombakan struktural menjadi langkah-langkah strategis yang harus diambil guna mengurangi beban negara sekaligus meningkatkan kinerja perusahaan. Pemerintah diharapkan mampu menciptakan BUMN yang lebih sehat secara finansial dan mampu memberikan kontribusi maksimal kepada negara. (*)
Artikel 7 Perusahaan BUMN Alami Kerugian, Dosen UGM Usulkan Restrukturisasi pertama kali tampil pada Wiradesa.co.